Prolog 01
Bagi seseorang yang sudah akrab dengan kematian, meratapi sebuah “kematian” adalah sesuatu yang aneh.
Setiap detik, akan ada nyawa yang melayang. Entah sia-sia, atau bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Kematian adalah wajar, dan malaikat maut akan selalu mendatangi kita, apapun yang terjadi. Namun, seringkali kematian adalah nyanyian yang asing; orang yang dihampirinya bisa tak mengetahui kalau sesuatu yang besar sedang mempermainkannya saat ini.
Sama seperti Luna. Saat kematian menghampiri Luna, ia tak menyadarinya hingga ia terbangun di tempat ini. Dunia yang diselimuti dengan warna merah. Juga makhluk-makhluk aneh yang memiliki sayap gagak dan bebas melakukan apa saja yang ia mau.
Luna tak berkata apa-apa. Nalurinya di masa lalu mengatakan bahwa itu bukan suatu pertanda yang baik.
Dengan satu gerakan tangan, ia menarik sebuah senapan sniper dari belakang tubuhnya dan langsung mengarahkannya tepat kepada targetnya. Seseorang yang dengan pongah menyebut dirinya utusan dewa dan—entah karena post power syndrome atau apa—memilih dikelilingi harem bersayap yang bahkan tak jelas entitasnya sama sekali.
Anak itu menyalakan sebuah tombol yang ada di kacamatanya. Sebuah monitor menyala di lensa kacamata itu, memudahkan Luna memperkirakan berapa jauh target dari ujung senapannya. Sebenarnya, tanpa kacamata itu-pun, ia sudah dapat menghitung kemungkinan melesetnya peluru dengan menghitung kecepatan arah angin dan perkiraan pergerakan musuh berdasarkan kondisi psikologisnya. Hanya saja, karena alasan praktis—dan juga karena ingin tampil keren—Luna tetap menyalakannya.
“4.23 detik.” Angka itu seolah terlintas di depan matanya.
Itu adalah waktu minimal yang dibutuhkan Luna saat ini untuk menarik pelatuk senapannya. Seharusnya, jika orang-orang yang tak dikenalnya terus melakukan aktivitas yang ribut sesuai dengan prediksinya, makhluk itu akan terus berada di sana dan tidak akan sempat menghindar dari peluru Luna 4.58 detik kedepannya.
“1.46 detik.”
Sudah 3.37 detik yang dilewati Luna untuk membidik. tidak ada angin yang berhembus. Orang-orang. Makhluk itu terlihat menghentakkan kakinya ke tanah, tetapi tetap dalam target bidikan senapan itu. Kecuali dalam keadaan khusus, tidak ada yang bisa selamat dari bidikan Luna jika ia hanya memiliki waktu 1.23 detik untuk menghindar. Bahkan, jika ia berhasil menghindar sekalipun, Luna masih bisa mengupayakan agar salah satu alat geraknya tidak dapat digunakan lagi. Setelah itu, tak ada lagi yang bisa selamat dari pandangannya.
“All clear.”
Dalam satu hentakan singkat, Luna menarik pelatuk senapannya dan membuat peluru itu melesat. Sesuai dengan perhitungannya, peluru itu akan tepat mengenai kepala makhluk tersebut 0.43 detik setelah keluar dari mulut senapannya. Namun, apa yang terjadi setelah itu benar-benar mengejutkan Luna.
Makhluk itu melesat terbang dengan kecepatan yang luar biasa. Peluru itu terus melesat hingga mengenai salah satu pohon yang muncul dengan misterius di depannya. Peluru itu meledak, juga dengan pohon itu—yang kini mengeluarkan cairan berwarna merah, persis seperti saat ia membunuh targetnya di kegelapan malam.
Beberapa orang melihat pohon yang meledak itu. Lainnya pura-pura tak tahu, dan lebih banyak yang tak peduli.
Tak ada target yang bisa lolos dari pandangannya, kecuali dalam hal tertentu. Dan hal itulah yang terjadi tepat di depan matanya saat ini.
Fate. Takdir. Sesuatu yang bahkan bisa mengubah perhitungan matematis yang rumit menjadi puing-puing kerangka yang tak berharga sama sekali.
Luna tersenyum sinis. Lalu ia memilih menghempaskan dirinya di tanah. Ingin sekali Luna berteriak saat ini, akan tetapi urung ia lakukan.
Back to Previous Chapter | Return to Main Page | Forward to Next Chapter |
Bagaimanapun juga, ia masih 14 tahun. Dan ia belum sepenuhnya dewasa.